BIREUEN | 1fakta.com
Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen kembali menuai sorotan tajam. Pasalnya Pemusnahan barang bukti (BB) yang digelar di halaman belakang Kantor Kejari Bireuen, pada hari Senin (15/12/2025), justru dilakukan dengan menutup akses peliputan bagi wartawan. Sejumlah jurnalis yang datang untuk menjalankan tugas jurnalistik dilarang meliput oleh staf kejaksaan dengan alasan klasik, tidak ada undangan.
Dari alasan tersebut bukan hanya keliru, tetapi juga mencederai prinsip dasar kebebasan pers. Wartawan tidak bekerja berdasarkan undangan, melainkan mandat undang-undang dan kepentingan publik. Pemusnahan barang bukti adalah peristiwa hukum yang menyangkut akuntabilitas penegakan hukum, bukan hajatan privat lembaga.
Ironisnya, setelah menunggu cukup lama, wartawan justru diberitahu bahwa acara telah selesai dan rilis akan dikirim ke grup kejaksaan. Pola komunikasi satu arah ini menempatkan pers sekadar sebagai corong humas, bukan mitra kritis demokrasi. Publik dipaksa menerima narasi versi tunggal, tanpa verifikasi lapangan, tanpa pengawasan independen.
Tindakan ini bertentangan secara terang-benderang dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya:
Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pasal 4 ayat (3): Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Demikian disampaikan Ketua SWI Bireuen, Yusri, M.Sos, yang turut hadir di lokasi, menyatakan kekecewaannya terhadap sikap pimpinan Kejari Bireuen yang baru, Yarnes, S.H., M.H. Menurutnya, sikap tertutup ini mencederai tradisi keterbukaan yang selama ini terbangun.
“Ini menimbulkan dugaan kecurigaan publik, ada apa dengan barang bukti itu sampai harus ditutup dari pers? Atau Kejari yang baru memang anti media? Sepanjang yang kami ingat, ini baru pertama kali terjadi di Kejaksaan Negeri Bireuen,” tegas Yusri.
Penegakan hukum yang sehat tidak takut pada kamera, catatan wartawan, dan pertanyaan publik. Justru transparansi adalah benteng utama kepercayaan. Ketika aparat penegak hukum memilih menutup pintu bagi pers, kecurigaan publik bukanlah kesalahan wartawan, melainkan konsekuensi dari sikap tertutup itu sendiri.
Kejari Bireuen perlu segera mengevaluasi sikap dan kebijakannya. Negara ini bukan negara undangan, dan pers bukan tamu. Pers adalah pilar demokrasi yang dijamin konstitusi. Menutup ruang liputan sama artinya dengan mereduksi hak publik atas kebenaran dan keterbukaan publik.
(Abd)

