1fakta.com – Setiap pergantian tahun, wajah kota nyaris selalu sama. Langit dihiasi kembang api, jalanan dipenuhi dentuman petasan, dan aparat kembali disibukkan dengan imbauan yang berulang.
Fenomena ini seolah menegaskan satu hal: larangan boleh ada, tetapi kepatuhan belum menjadi budaya.
Pemerintah dan kepolisian sejatinya tidak kekurangan regulasi. Aturan tentang pembatasan hingga pelarangan petasan telah lama diberlakukan dengan alasan keselamatan publik.
Resiko kebakaran, cedera, bahkan korban jiwa bukan sekadar kemungkinan, melainkan fakta yang berulang hampir setiap tahun. Ironisnya, pengalaman pahit itu tidak mampu mengubah perilaku kolektif.
Di sisi lain, masyarakat kerap memaknai malam tahun baru sebagai ruang bebas tanpa batas.
Euforia sesaat dijadikan pembenaran untuk mengabaikan aturan, seolah kegembiraan hanya sah bila disertai ledakan dan bising.
Padahal, kebebasan berekspresi tidak pernah dimaksudkan untuk mengorbankan keselamatan orang lain.
Aparat penegak hukum pun berada dalam dilema berkepanjangan. Penindakan tegas berisiko memicu konflik sosial, sementara toleransi berlebihan justru melemahkan wibawa aturan.
Ketika pelanggaran dibiarkan atas nama situasi, pesan yang sampai ke publik menjadi kabur: larangan ada, tetapi tidak benar-benar berlaku.
Editorial ini menegaskan bahwa persoalan petasan bukan semata soal tradisi atau hiburan, melainkan cermin kedewasaan berdemokrasi.
Kepatuhan pada aturan adalah ukuran sejauh mana masyarakat menghargai kepentingan bersama di atas kesenangan pribadi.
Pergantian tahun seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan pengulangan pelanggaran. Selama euforia terus ditempatkan lebih tinggi daripada keselamatan dan kepatuhan, dentuman petasan akan tetap menjadi simbol kegagalan kita belajar dari tahun ke tahun.
Niar Ch

