Empat Hari Tanpa Kabar Berita: Monolong Jurnalis Mencari Keluarga di Tengah Bencana

Bener Meriah | 1fakta.com

Empat hari tanpa kabar.
Empat hari tanpa suara dari kakakku yang biasanya menjawab telepon tanpa menunda. Empat hari di mana rasa cemas dan tugas profesi bertabrakan di dalam kepala.

Dan di hari Selasa itu, 2 Desember 2025, aku melangkah ke Bener Meriah bukan hanya sebagai adik yang gelisah, tetapi sebagai jurnalis, seseorang yang tahu bahwa di balik setiap bencana, ada cerita yang harus disampaikan agar tidak tenggelam.

Aku berangkat bersama abang iparku, Ridwan Salam. Jalan KKA menjadi saksi awal perjalanan kami. tapi tak jauh dari Gunung Salak, kami harus berpisah.
Dia kembali dan aku berjalan maju.
Karena di sini, pekerjaanku menuntut satu hal: jangan pernah berhenti di tengah jalan ketika ada kebenaran yang harus ditemukan.

Aku menembus bekas longsoran, menerima tawaran RBT dengan tarif seadanya, mengikuti jalan yang bahkan sepeda motor pun tak lagi mampu melawan.
Satu ojek, turun.
Naik ojek kedua, turun lagi.
Sisanya, kaki ini yang bekerja.
Melewati sungai berbatu licin, bukit berlumpur, dan jejak-jejak bencana yang masih hangat.

Di Guci, aku singgah.
Kopi hitam, warung kecil, hujan tipis.
Di sanalah aku bertemu Iwan, sales yang juga ingin kembali ke ibunya.
Kami sama-sama dalam misi keluarga, tetapi aku juga membawa misi tambahan: merekam apa yang terjadi, tanpa dilebihkan dan tanpa dikurangi.

Dua orang asing berjalan bersama di tengah bencana; begitulah bencana mempertemukan orang.

Di perjalanan, aku melihat sesuatu yang selalu membuat jurnalis berhenti sejenak, kerumunan massa di malam hari, di titik-titik yang tidak biasa.
Ada informasi simpang siur tentang penjarahan, tetapi tanpa bukti, aku tak boleh menuliskan apa pun.
Itu prinsip. Itu etika. Itu fondasi jurnalisme.

Tugas seorang jurnalis bukan hanya melaporkan,
tetapi memilah antara fakta dan desas-desus,
antara suara korban dan suara yang dibesarkan oleh ketakutan.

Ketika akhirnya aku tiba di Simpang Balik dan kemudian di rumah kakakku di Simpang Blang Mancung, rasa lega itu tak bisa kuukur dengan apa pun.
Empat hari cemas terbayar.
Empat hari menunggu berubah menjadi satu detik harapan yang pulang.

Dan malam itu, aku duduk diam sejenak.
Menghela napas panjang.
Bukan hanya sebagai adik, tetapi sebagai jurnalis yang menyadari satu hal:

Tugas jurnalis bukan sekadar menyampaikan berita.
Tugas jurnalis adalah memastikan kebenaran tetap hidup, bahkan ketika jalan menuju kebenaran itu penuh lumpur, longsoran, dan gelap tanpa listrik.

Jurnalis harus hadir ketika jaringan komunikasi mati.
Jurnalis harus melihat dengan mata sendiri ketika kabar simpang-siur membingungkan publik.
Jurnalis harus menulis apa yang terjadi, bukan apa yang ingin didengar.

Dan di atas semuanya, jurnalis harus membawa hati, bukan hanya kamera dan catatan.

Karena bencana bukan hanya data.
Bencana adalah tentang manusia, tentang keluarga, tentang ketakutan, tentang harapan, dan tentang perjalanan panjang untuk menemukan keduanya kembali.

Di Bener Meriah malam itu, ketika dingin menusuk dan lumpur menahan langkah, aku, Iskandar M. Tjut, kembali mengingatkan diriku sendiri:

Jurnalis tidak hanya bekerja untuk berita.
Jurnalis bekerja untuk manusia.
Untuk suara-suara yang tidak pernah diberi panggung.
Untuk kebenaran yang tetap harus berdiri ketika segalanya sedang runtuh.

Dan itulah alasan mengapa langkahku hari itu tidak boleh berhenti.

 

 

Iskandar M. Tjut

_______