Kekuasaan Tanpa Kebenaran: Pejabat Pembohong, Penjilat Kekuasaan, dan Keruntuhan Etika Publik

Oleh Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd. Ketua Afiliasi Pengajar dan Penulis Bahasa, Sastra, Budaya, Seni, dan Desain Provinsi Kepulauan Riau

Batam – 1fakta.com

Ia hadir sebagai wajah negara, tetapi kerap absen sebagai penjaga kebenaran. Dalam praktik politik kontemporer, kebohongan pejabat tidak lagi tampil vulgar, melainkan disamarkan dalam narasi normatif, data yang dipilih secara selektif, serta retorika kepentingan. Kebohongan semacam ini bukan sekadar cacat moral personal, melainkan gejala krisis etika kekuasaan yang bersifat struktural.

Plato sejak awal telah menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah bila berpijak pada kebenaran. Dalam Republic, ia menyatakan bahwa negara akan hancur apabila dipimpin oleh mereka yang mencintai kekuasaan tanpa kebijaksanaan (Plato, 2004: 347). Bagi Plato, pemimpin sejati adalah philosopher-king, sosok yang menempatkan kebenaran dan keadilan di atas ambisi pribadi. Ketika pejabat memilih berdusta demi stabilitas semu atau kepentingan elite, ia sejatinya sedang memerintah dalam bayang-bayang, bukan dalam terang rasio.

Dalam tradisi filsafat Islam, Al-Farabi mempertegas hubungan integral antara etika dan politik. Negara utama (al-madinah al-fadilah) hanya dapat terwujud jika pemimpinnya memiliki keutamaan moral dan intelektual (Al-Farabi, 1985: 92). Kekuasaan yang dijalankan tanpa kejujuran akan kehilangan tujuan hakikinya, yakni membawa masyarakat menuju kebahagiaan bersama (al-sa‘adah). Penjilatan kekuasaan, dalam perspektif ini, adalah tanda kegagalan moral pemimpin karena loyalitas diarahkan kepada figur dan jabatan, bukan kepada kebenaran dan kemaslahatan umum.

Hannah Arendt, dalam analisis politik modern, memberi peringatan keras tentang bahaya kebohongan dalam ruang publik. Ia menegaskan bahwa kebohongan politik bukan hanya memutarbalikkan fakta, tetapi menghancurkan fondasi realitas bersama yang memungkinkan diskursus publik berlangsung sehat (Arendt, 2006: 233). Ketika pejabat secara sadar memproduksi ketidakbenaran, ruang publik kehilangan pijakan faktualnya, dan demokrasi berubah menjadi arena manipulasi opini.

Fenomena ini semakin relevan dalam konteks mutakhir. Laporan Government at a Glance OECD menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap integritas pejabat cenderung stagnan bahkan menurun di banyak negara, termasuk negara berkembang (OECD, 2023: 61). Hal ini menegaskan bahwa kebohongan pejabat bukan isu sporadis, melainkan pola yang berdampak langsung pada legitimasi pemerintahan.

Di Indonesia, diskursus integritas pejabat juga mengemuka kuat. Komisi Pemberantasan Korupsi menekankan bahwa kejujuran dan integritas merupakan fondasi kepemimpinan publik yang tidak dapat ditawar, terutama dalam situasi demokrasi yang rentan terhadap konflik kepentingan (KPK, 2024: 5). Pernyataan ini menguatkan tesis bahwa krisis kebohongan pejabat bukan semata persoalan hukum, tetapi persoalan etika dan karakter kepemimpinan.

Secara filosofis, pejabat pembohong berada dalam paradoks kekuasaan: ia memegang mandat publik, tetapi mengkhianati sumber legitimasi mandat tersebut. Secara politis, penjilat kekuasaan memperpanjang usia kebohongan dengan menormalisasi kepatuhan tanpa nurani. Dalam kondisi demikian, kritik intelektual dan kontrol publik bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban moral.

Plato mengingatkan bahwa kebenaran adalah jiwa negara (Plato, 2004: 380). Al-Farabi menegaskan bahwa politik tanpa akhlak kehilangan arah (Al-Farabi, 1985: 101). Arendt menutup dengan peringatan bahwa ketika kebohongan menjadi sistemik, masyarakat akan kehilangan kemampuan membedakan fakta dan fiksi (Arendt, 2006: 257). Ketiga pemikiran ini bertemu dalam satu kesimpulan: kekuasaan yang memusuhi kebenaran sedang menyiapkan kehancurannya sendiri.

Bangsa ini sesungguhnya tidak kekurangan orang cerdas, tetapi kekurangan pejabat yang berani jujur. Selama kebohongan masih diberi ruang dan penjilatan dianggap strategi politik, krisis etika publik akan terus berulang. Jalan keluarnya hanya satu: mengembalikan politik kepada martabatnya sebagai pengabdian pada kebenaran dan keadilan, bukan panggung kepura-puraan.

Daftar Pustaka
Al-Farabi. Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah. Beirut: Dar al-Mashriq, 1985.
Arendt, Hannah. Between Past and Future. New York: Penguin Books, 2006.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Integritas Kepemimpinan Publik. Jakarta: KPK RI, 2024.
OECD. Government at a Glance. Paris: OECD Publishing, 2023.
Plato. The Republic. Trans. Desmond Lee. London: Penguin Classics, 2004.