Blog  

Netral terhadap Kepentingan, Teguh pada Fakta: Menjaga Marwah Jurnalisme di Tengah Banjir InformasiOleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.

Netral terhadap Kepentingan, Teguh pada Fakta: Menjaga Marwah Jurnalisme di Tengah Banjir Informasi
Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.

Pemerhati Penulis dan Wartawan Republik Indonesia
Di era banjir informasi yang bergerak cepat dan nyaris tanpa jeda, jurnalisme berada pada titik krusial yang menentukan kualitas kesadaran publik. Informasi tidak lagi sekadar dibaca, tetapi diyakini, dibagikan, bahkan dijadikan rujukan dalam pengambilan sikap sosial dan politik. Dalam konteks ini, wartawan tidak cukup dipahami sebagai penyampai peristiwa, melainkan sebagai penjaga nalar publik. Karena itu, pertanyaan tentang boleh atau tidaknya wartawan berpihak sejatinya menyentuh jantung integritas pers dan keberlanjutan kepercayaan masyarakat.
Secara etik dan profesional, wartawan tidak dibenarkan berpihak pada individu, kelompok, maupun kekuasaan tertentu. Prinsip ini merupakan fondasi utama jurnalisme yang bertanggung jawab. Kode Etik Jurnalistik menempatkan independensi, kejujuran, dan keberimbangan sebagai pilar kerja pers. Ketika independensi runtuh, berita berisiko menjadi alat legitimasi kepentingan. Ketika keberimbangan diabaikan, fakta kehilangan konteks. Dan ketika kejujuran ditinggalkan, pers kehilangan makna dan fungsinya sebagai pengawal kebenaran.
Namun, ketidakberpihakan sering disalahpahami sebagai netralitas moral yang dingin dan tanpa sikap. Pandangan ini keliru. Wartawan memang harus menjaga jarak dari kepentingan, tetapi tidak boleh menjauh dari kebenaran. Justru, wartawan wajib berpihak pada fakta yang terverifikasi, akal sehat, dan kepentingan publik. Keberpihakan pada kebenaran faktual bukanlah pelanggaran etik, melainkan inti dari tanggung jawab moral profesi agar masyarakat tidak disesatkan oleh informasi yang bias dan manipulatif.
Etika jurnalistik juga menetapkan batas yang tegas terhadap praktik-praktik yang mencederai martabat pers. Penyebaran berita bohong, fitnah, serta pemberitaan yang mengabaikan nilai kemanusiaan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap profesi. Demikian pula eksploitasi isu suku, agama, ras, dan golongan hanya akan menjadikan pers sebagai pemantik konflik, bukan ruang pencerahan. Pers yang beradab adalah pers yang menjaga martabat manusia, bahkan ketika memberitakan peristiwa yang keras, sensitif, dan kontroversial.
Ujian integritas wartawan kerap hadir bukan dalam bentuk tekanan terbuka, melainkan godaan halus berupa materi dan fasilitas. Praktik penerimaan amplop, hadiah, atau keuntungan lain dengan dalih relasi baik adalah pelanggaran serius terhadap independensi. Fenomena meminta THR atau memanfaatkan liputan untuk kepentingan pribadi bukan hanya mencoreng etika, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik. Penegasan Dewan Pers bahwa kesejahteraan wartawan merupakan tanggung jawab perusahaan pers harus dipahami sebagai upaya menjaga kemurnian relasi antara wartawan dan narasumber.
Objektivitas dalam jurnalisme juga menuntut kedisiplinan intelektual. Fakta dan opini harus dipisahkan secara jujur dan proporsional. Wartawan tentu memiliki hak untuk menulis opini, tetapi harus disajikan dengan penandaan yang jelas, argumentasi yang rasional, dan tanggung jawab moral. Menggiring opini publik melalui manipulasi fakta sama berbahayanya dengan menyebarkan kebohongan, karena keduanya merampas hak publik atas informasi yang jernih dan berimbang.
Dari sisi hukum, kemerdekaan pers dijamin oleh Undang-Undang Pers sebagai prasyarat demokrasi yang sehat. Jaminan ini memungkinkan wartawan bekerja tanpa intimidasi dan sensor. Namun, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Wartawan tetap terikat oleh etika dan hukum. Hak tolak untuk melindungi sumber informasi adalah amanah moral, bukan tameng untuk membenarkan praktik jurnalistik yang menyimpang dari profesionalisme.
Tantangan terbesar jurnalisme hari ini datang dari ekosistem media digital yang mengagungkan kecepatan, viralitas, dan angka klik. Tekanan popularitas sering menggoda wartawan untuk mengorbankan akurasi dan kedalaman. Dalam situasi inilah integritas diuji. Menjaga netralitas terhadap kepentingan dan keteguhan pada fakta memang semakin berat, tetapi justru semakin penting. Kepercayaan publik adalah modal utama pers, dan modal itu hanya dapat dirawat melalui konsistensi etika dan kualitas kerja jurnalistik.
Pada akhirnya, jurnalisme adalah profesi intelektual sekaligus moral. Ketidakberpihakan bukan sikap tanpa empati, melainkan pilihan etis untuk berdiri di atas kebenaran. Dengan menjaga jarak dari kepentingan dan mendekat pada fakta, wartawan tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi turut merawat akal sehat publik dan meneguhkan pers sebagai pilar penting dalam kehidupan demokratis yang beradab.

Netral terhadap Kepentingan, Teguh pada Fakta: Menjaga Marwah Jurnalisme di Tengah Banjir Informasi
Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.

Pemerhati Penulis dan Wartawan Republik Indonesia
Di era banjir informasi yang bergerak cepat dan nyaris tanpa jeda, jurnalisme berada pada titik krusial yang menentukan kualitas kesadaran publik. Informasi tidak lagi sekadar dibaca, tetapi diyakini, dibagikan, bahkan dijadikan rujukan dalam pengambilan sikap sosial dan politik. Dalam konteks ini, wartawan tidak cukup dipahami sebagai penyampai peristiwa, melainkan sebagai penjaga nalar publik. Karena itu, pertanyaan tentang boleh atau tidaknya wartawan berpihak sejatinya menyentuh jantung integritas pers dan keberlanjutan kepercayaan masyarakat.
Secara etik dan profesional, wartawan tidak dibenarkan berpihak pada individu, kelompok, maupun kekuasaan tertentu. Prinsip ini merupakan fondasi utama jurnalisme yang bertanggung jawab. Kode Etik Jurnalistik menempatkan independensi, kejujuran, dan keberimbangan sebagai pilar kerja pers. Ketika independensi runtuh, berita berisiko menjadi alat legitimasi kepentingan. Ketika keberimbangan diabaikan, fakta kehilangan konteks. Dan ketika kejujuran ditinggalkan, pers kehilangan makna dan fungsinya sebagai pengawal kebenaran.
Namun, ketidakberpihakan sering disalahpahami sebagai netralitas moral yang dingin dan tanpa sikap. Pandangan ini keliru. Wartawan memang harus menjaga jarak dari kepentingan, tetapi tidak boleh menjauh dari kebenaran. Justru, wartawan wajib berpihak pada fakta yang terverifikasi, akal sehat, dan kepentingan publik. Keberpihakan pada kebenaran faktual bukanlah pelanggaran etik, melainkan inti dari tanggung jawab moral profesi agar masyarakat tidak disesatkan oleh informasi yang bias dan manipulatif.
Etika jurnalistik juga menetapkan batas yang tegas terhadap praktik-praktik yang mencederai martabat pers. Penyebaran berita bohong, fitnah, serta pemberitaan yang mengabaikan nilai kemanusiaan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap profesi. Demikian pula eksploitasi isu suku, agama, ras, dan golongan hanya akan menjadikan pers sebagai pemantik konflik, bukan ruang pencerahan. Pers yang beradab adalah pers yang menjaga martabat manusia, bahkan ketika memberitakan peristiwa yang keras, sensitif, dan kontroversial.
Ujian integritas wartawan kerap hadir bukan dalam bentuk tekanan terbuka, melainkan godaan halus berupa materi dan fasilitas. Praktik penerimaan amplop, hadiah, atau keuntungan lain dengan dalih relasi baik adalah pelanggaran serius terhadap independensi. Fenomena meminta THR atau memanfaatkan liputan untuk kepentingan pribadi bukan hanya mencoreng etika, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik. Penegasan Dewan Pers bahwa kesejahteraan wartawan merupakan tanggung jawab perusahaan pers harus dipahami sebagai upaya menjaga kemurnian relasi antara wartawan dan narasumber.
Objektivitas dalam jurnalisme juga menuntut kedisiplinan intelektual. Fakta dan opini harus dipisahkan secara jujur dan proporsional. Wartawan tentu memiliki hak untuk menulis opini, tetapi harus disajikan dengan penandaan yang jelas, argumentasi yang rasional, dan tanggung jawab moral. Menggiring opini publik melalui manipulasi fakta sama berbahayanya dengan menyebarkan kebohongan, karena keduanya merampas hak publik atas informasi yang jernih dan berimbang.
Dari sisi hukum, kemerdekaan pers dijamin oleh Undang-Undang Pers sebagai prasyarat demokrasi yang sehat. Jaminan ini memungkinkan wartawan bekerja tanpa intimidasi dan sensor. Namun, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Wartawan tetap terikat oleh etika dan hukum. Hak tolak untuk melindungi sumber informasi adalah amanah moral, bukan tameng untuk membenarkan praktik jurnalistik yang menyimpang dari profesionalisme.
Tantangan terbesar jurnalisme hari ini datang dari ekosistem media digital yang mengagungkan kecepatan, viralitas, dan angka klik. Tekanan popularitas sering menggoda wartawan untuk mengorbankan akurasi dan kedalaman. Dalam situasi inilah integritas diuji. Menjaga netralitas terhadap kepentingan dan keteguhan pada fakta memang semakin berat, tetapi justru semakin penting. Kepercayaan publik adalah modal utama pers, dan modal itu hanya dapat dirawat melalui konsistensi etika dan kualitas kerja jurnalistik.
Pada akhirnya, jurnalisme adalah profesi intelektual sekaligus moral. Ketidakberpihakan bukan sikap tanpa empati, melainkan pilihan etis untuk berdiri di atas kebenaran. Dengan menjaga jarak dari kepentingan dan mendekat pada fakta, wartawan tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi turut merawat akal sehat publik dan meneguhkan pers sebagai pilar penting dalam kehidupan demokratis yang beradab.

<Nursalim>