Takengon – 1fakta.com
Sidang lanjutan kasus dugaan penganiayaan terhadap perempuan dan anak di bawah umur di Pengadilan Negeri Takengon memicu kontroversi setelah majelis hakim memutuskan mengalihkan status penahanan terdakwa Mulyadi dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.
Keputusan tersebut diambil dalam persidangan pada Kamis, 22 Mei 2025. Majelis hakim yang diketuai Rahma Novatiana, S.H., dengan anggota Bani Muhammad Alif, S.H., dan Chandra Khoirunnas, S.H., M.H., menyebut alasan pengalihan karena Mulyadi masih menjabat sebagai Reje (Kepala Desa) dan dibutuhkan untuk menjalankan tugas-tugas desa.
Namun, alasan itu dibantah keras oleh Ummi Kalsum, salah satu pelapor dalam kasus ini. Warga Kampung Kala Kemili, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah, itu menegaskan bahwa Mulyadi sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala desa. Ia mengungkapkan posisi tersebut telah digantikan oleh penjabat yang ditunjuk oleh pihak kecamatan.
“Alasan hakim sangat tidak berdasar dan mencederai rasa keadilan. Ini bukan kasus ringan. Korbannya perempuan dan anak. Bagaimana mungkin terdakwa justru mendapat kelonggaran?” ujar Ummi dalam keterangannya kepada wartawan.
Ia juga menyatakan kekecewaannya terhadap majelis hakim yang memimpin perkara tersebut dan berencana melaporkan dugaan ketidaknetralan putusan ini ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat serta Komisi Yudisial Republik Indonesia.
“Saya khawatir proses hukum tidak berjalan adil. Sidang belum selesai, tapi terdakwa sudah diberi status tahanan kota. Ini memberi sinyal buruk bagi kepercayaan publik terhadap hukum,” tambahnya.
Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan aktivis hukum di Aceh Tengah. Mereka mendesak lembaga pengawasan peradilan segera turun tangan guna memastikan proses hukum berlangsung transparan dan adil.
Pengalihan status penahanan dalam kasus kekerasan fisik semacam ini dinilai rawan menimbulkan preseden buruk, khususnya bagi upaya perlindungan korban dan penegakan hukum yang berpihak pada keadilan.(#)